Mengenang Perjuangan Ronin RI

 

Tak terasa sudah lebih setahun peristiwa kriminalisasi terhadap aktivis hukum dan antikorupsi Raden Nuh terjadi. Raden ditangkap, ditahan dan kemudian divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan  untuk kejahatan yang tidak pernah dia lakukan. Tetapi, sebagaimana pengetahuan publik Indonesia bahwa hukum adalah milik penguasa dan orang kaya, tidak pernah berpihak kepada rakyat biasa apalagi terhadap aktivis yang memang sudah menjadi target untuk dibungkam melalui fitnah dan rekayasa hukum.

Sejenak kilas balik rekayasa hukum oknum-oknum aparat hukum Indonesia diulas agar rakyat mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi dan mengambil hikmah dari kisah nyata pelanggaran hak azasi manusia di Indonesia pada abad ke-21, di mana seharusnya peristiwa seperti ini tidak lagi terjadi.

Suatu siang usai shalat Jumat pada tanggal 24 Oktober 2014, Raden Nuh sedang bersiap memberi pembekalan kepada advokat-advokat muda di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan, mendadak ia mendapat telepon dari mantan rekan sekantornya Koeshardjono, yang berada di Jakarta.

Melalui telepon Koeshardjono menyampaikan pesan dari mitra Raden Nuh yang bernama Abdul Satar. Pesan bermuatan ancaman ditujukan kepada Raden sehubungan dengan tudingan beberapa pihak tertentu, yang merasa sangat terganggu, terancam dan dirugikan dari aktivitas Raden Nuh yang selama dua minggu terakhir gencar menggalang penolakan publik terhadap rencana penjualan 100% saham PT. Dayamitra Telekomunikasi atau lebih dikenal dengan Mitratel, anak perusahaan PT Telkom Indonesia Tbk, pengelola jaringan Base Transceiver Station (BTS) Telkom Grup  di seluruh Indonesia.

Pesan bernada Abdul Satar melalui Koeshardjono itu pada intinya adalah Raden akan dihabisi jika permintaan mereka agar Raden segera berhenti melakukan penggagalan penjualan Mitratel kepada pihak swasta dan tidak lagi membongkar berbagai korupsi triliunan rupiah di lingkungan BUMN PT Telkom Tbk.

Namun Raden membangkang. Risiko ancaman terhadap dirinya tidak sebandingn dengan ancaman terhadap ketahanan nasional Indonesia jika Mitratel jadi dijual kepada pihak swasta. Dengan menggunakan analogi sederhana, Raden mengatakan, “Jika Indosat itu adalah mata Indonesia, Mitratel adalah telinga Indonesia. Menjual Miratel kepada swasta akan menjadikan Indonesia yang sudah lama buta menjadi tuli atau tuna rungu. Penjualan Mitratel sangat berbahaya karena melemahkan ketahanan negara Indonesia dari  berbagai ancaman dalam dan luar negeri”. Bagi pejuang hukum dan anti korupsi itu, penolakan penjualan Mitratel adalah harga mati.

Karena sikap Raden mengabaikan ancaman itu, kurang dari seminggu kemudian, adiknya Edi Syahptra yang juga advokat aktivis anti korupsi ditangkap dengan tuduhan memeras PT Telkom. Tiga hari kemudian, bekas rekan sekantornya KoesHardjono ikut ditangkap. Dan akhirnya, pada tanggal 1 Nopember 2014, Raden Nuh turut ditangkap oknum Polda Metro Jaya dengan tuduhan yang sama : Pemerasan terhadap PT Telkom Indonesia Tbk.

Semua rekayasa hukum untuk dapat mengkriminalisasi Raden Nuh dkk dimaksudkan membungkam Raden Nuh dan Jaringan Advokat Publik (JAP) pada saat itu memang sedang gencar membongkar berbagai korupsi di PT Telkom, seperti kasus korupsi pengadaan Mobil Penyedia Layanan Internet Kecamatan (MPLIK) senilai Rp520 miliar, proyek kabel optik, korupsi pada penjualan saham Mitratel dan Telkomvision, yang merugikan negara belasan triliun rupiah.

Korupsi-korupsi PT Telkom itu ternyata juga terkait erat dengan Abdul Satar dan Wahyu Sakti Trenggono, mitra Raden di perusahaan media on line Asatunews.com. Atau setidak-tidaknya, patut diduga Abdul Satar dan Wahyu Saktio Trenggono diajak berkolaborasi oleh para mafia koruptor PT Telkom untuk menghabisi Raden Nuh & JAP melalui rekayasa hukum dan kriminalisasi.

Anggaran  promosi PT Telkom  yang ratusan miliar  rupiah per tahun patut diduga turut dikucurkan untuk membiayai kriminalisasi ini terutama melalui pembentukan opini keliru seputar penangkapan dan kasus pidana yang dituduhkan kepada Raden Nuh dkk.

 

Penangkapan Raden Nuh pada  tanggal 1 Nopember 2014 itu benar-benar tanpa berdasarkan hukum melainkan kesewenang-wenangan oknum aparat Polda Metro Jaya. Seminggu kemudian Polda Metro Jaya menyampaikan keterangan pers bahwa Raden Nuh ditangkap dan ditahan karena disangka turut terlibat dalam pemerasan PT Telkom.

Tak ada bukti mengenai tuduhan pemerasan Telkom oleh Raden Nuh dkk, namun hukum Indonesia adalah milik penguasa dan pelindung orang-orang kaya yang dapat dengan mudah merancang sangkaan, dakwaan dan vonis hukuman terhadap siapa saja yang mereka kehendaki.

Tiga bulan setelah penangkapan, dakwaan terhadap Raden Nuh dkk diubah penyidik dan jaksa menjadi dakwaan sebagai pelaku kejahatan terhadap Abdul Satar – teman dan rekan mereka sendiri di media online Asatunewscom.

Raden Nuh melalui dakwaan jaksa dituduh turut serta dalam pencemaran nama baik, penipuan, pemerasan, pelanggaran UU ITE dan pelanggaran terhadap UU Pencucian uang. Dakwaan keji dan ngawur dari oknum jaksa, yang semakin membuktikan telah terjadinya rekayasa hukum.

Kriminalisasi terhadap Raden Nuh kian terbukti manakala nama PT Telkom  sebagai korban pemerasan sebagaimana keterangan pers Polda Metro Jaya tidak lagi disebut. Mendadak nama PT Telkom menghilang, setelah selama berbulan-bulan media-media dbayar mahal memberitakan Raden Nuh dkk sebagai penjahat pemeras Telkom.

Kesaksian palsu dicipakan, saksi dan saksi ahli bayaran dihadirkan, BAP dipalsukan, Koeshardjono dtekan dan diancam  habis-habisan agar bersedia memberi keterangan tidak benar di BAP guna memberatkan Raden Nuh dan agar kasus ini dapat disidangkan.

Tanpa ada bukti pendukung dakwaan jaksa penuntut umum, Raden Nuh dkk dituntut hukuman 8.5 tahun penjara. Dan oknum hakim yang pasti dikondisikan sebebelumnya menjatuhkan vonis masing-masing 5 (lima) penjara untuk Raden Nuh dkk, sekaligus mencatat rekor hukuman terberat untuk seorang aktivis antikorupsi yang diputus bersalah karena dianggap telah melakukan tindak pidana pencemaran nama baik.

Majelis hakim merekayasasa dalil hukum baru melalui vonisnya : “Raden Nuh dkk dinyatakan bersalah secara sah dan meyakinkan turut serta mencemarkan nama baik dan penghinaan melalui sarana elektronik yang bermuatan pencucian uang”.

Tragedi hukum dan kemanusiaan telah terjadi. Kejahatan HAM berat terhadap Raden Nuh melalui kriminalisasi oleh para koruptor PT Telkom Tbk dan mafia hukum Republik Indonesia.

Semua fakta rekayasa hukum dan kriminalisasi yang melahirkan tragedi  kemanusiaan dan mencederai semangat perjuangan melawan korupsi tertutup rapat karena mayoritas media di Indonesia telah menjadi kaki tangan mafia koruptor.

Setahun lebih berlalu namun kami sebagai kader-kader kakanda Raden Nuh tetap selalu setia meneruskan perjuangan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi meski dengan cara tak terbuka, mengingat pesan Kakanda Raden Nuh agar para kader menahan diri dan berhati-hati karena mafia koruptor dan aparat hukum korup sangat berkuasa di negeri ini.

Terima kasih Bang Raden. Semoga tetap tabah menjalani hidup terkekang di penjara. Mengutip ucapan terkenal Tan Malaka – salah satu idola Bang Raden – “Suaraku terdengar lebih nyaring dari balik penjara”.

Kami meyakini ucapan itu karena dalam kesunyian itu gema perlawanan  terhadap korupsi dapat lebih efektif dan bermakna.

 

 

 

 

Satu pemikiran pada “Mengenang Perjuangan Ronin RI

Tinggalkan komentar